Rabu, 21 Desember 2011

Di Balik Rencana Pembuatan Film Mayang: Manjat Pohon Jambu (1)
PERJALANAN hidup penyanyi Mayangsari akan difilmkan oleh Mamock Ngudi Utomo, seorang penggiat film lokal Banyumas namun sudah punya nama sekaligus rekan Maya sejak bintang pop itu masih remaja. Menurut Mamock sebenarnya dirinya sudah lama merencanakan penggarapan film tentang Mayang yang sejak menjadi isteri siri putra mantan Presiden Soeharto Bambang Trihatmodjo itu menjadi bahan pemberitaan media. Lalu mengapa film itu belum diproduksi juga hingga sekarang? Apakah ada yang menghalang-halanginya? Untuk mengetahuinya, Warta Kota telah melakukan wawancara khusus dengan Mamock Ngudi Utomo dan hasilnya diturunkan secara bersambung.
Sejauh mana persiapan untuk menggarap film itu?
Saat ini saya tengah mempersiapkan tiga film. Semuanya dalam bahasa Indonesia. Filmpertama berjudul Ogan. Dalam bahasa Jawa Banyumasan, ogan berarti ramalan. Film itu mengisahkan seorang dokter perempuan yang memiliki toh brama (tanda lahir berwarna cokelat)  pada tubuhnya. Menurut kepercayaan, seorang wanita yang memiliki tanda seperti itu, bila memiliki suami, maka suaminya tak berumur panjang.
Film kedua, berjudul GE-ES. Bagi warga Banyumas, GS adalah singkatan dari Gang Sadar, yakni sebuah lokasi prostitusi tak resmi di Baturraden, Banyumas. Nah, film ketiga, saya ambil judulMayang Sarni. Judul itu memang  pelesetan dari Mayangsari. Sesungguhnya, orang Banyumas lebih sering menyebut nama Sarni daripada Sari.
Kapan ide membuat Mayang Sarni muncul?
Saya sudah lama merencanakan menggarap film tentang kisah hidup Mayangsari. Karena kesibukan saya, baru sekarang terwujud. Kalau sekarang ada kabar gonjang-ganjing tentang Mayangsari, itu hanya faktor kebetulan saja... kok ya momennya berbarengan.
Apakah Anda dekat dengan Mayangsari?
Dibilang dekat, iya. Saya sama Mayang kan sama-sama wong Banyumas. Dia dulu sekolah di SMP 6 Purwokerto, saya juga lulusan sekolah itu. Yang jelas, ketika Mayang remaja, saya kenal dia. Saya juga kenal baik bapaknya, Ki Soegito Poerbotjarito. Juga ibunya Mayang, Ny Larasatun Woro Cengkir Gading; kakaknya Mayang, Sigit Sabdo Aji Priyono; adik Mayang, Gita, dan saudara-saudara Mayang lainnya.  
Bagamana sosok Mayangsari saat itu?
Sekitar tahun 1986, saat saya sudah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, saya bersama teman bernama Swida Edi Purwanto mendirikan Fantastic Modelling & Dance Group, sebuah organisasi  yang mewadahi aktivitas remaja di Purwokerto yang berminat di bidang model, tari, dan menyanyi. Sekretariatnya di rumah Entrijati, teman saya, di belakang Hotel Sultana di Jalan Perintis Kemerdekaan, Purwokerto atau di dekat rumah Mayangsari di Jalan Kalibener, Gang 1.
     
Suatu hari, ketika saya melatih tari, saat itu sedang ngetren breakdance, Mayangsari yang masih kelas tiga SMP 6 Purwokerto, datang ikut nimbrung. Pernah suatu hari, Mayang memanjat pohon jambu di depan tempat saya melatih tari. Dia memanjat pohon jambu untuk latihan. Padahal saat itu dia baru pulang dari sekolah, belum ganti baju sekolah.
     
Waktu itu, saya mengingatkan dalam bahasa Jawa Banyumasan, "Mayang mudhun... aja penekan! Bocah wadon aja penekan, ora ilok (Mayang turun... jangan memanjat! Anak perempuan jangan memanjat, tidak sopan.)
     
Diperingatkan seperti itu, Mayang segera turun. Sambil ngeledek saya dia memberikan jambu yang dia petik saat memanjat pohon jambu. Saya terima jambu dari Mayang dan langsung memakannya. Mayang juga makan jambu yang disimpan di saku bajunya.
Apakah saat itu Mayang sudah dikenal sebagai penyanyi?    
Sudah. Mayang saat itu sudah dikenal sebagai pelajar yang sering memenangi lomba menyanyi di Purwokerto. Sejak sering main ke sekretariat Fantastic Modellling, saya jadi semakin akrab dengan Mayangsari. Dia juga minta diajari soal  modelling dan menari. Namun saya katakan, kamu berbakat di bidang nyanyi. Kembangkan terus bakatmu itu, siapa tahu kamu nanti jadi artis beken.
Cerita selanjutnya?
Pada tahun 1987 saya bersama Swida menggelar parade band dan lomba menyanyi lagu populer menuju dunia rekaman. Panitia, saya sebagai ketua panitianya, memang menjanjikan akan membawa juara satu lomba itu langsung masuk dapur rekaman di Jakarta. Saya mendatangkan juri dari Jakarta, yakni Barce van Houten dari grup band D'Loyd dan Is Haryanto dari Favorit Group. Saya juga mendatangkan bintang tamu, Johan Untung.Waktu itu Mayang yang sudah duduk di  kelas satu SMA Veteran, Purwokerto, jadi peserta. Total pesertanya ratusan orang.
Mayang masuk grand final tapi hanya jadi juara favorit.Namun, secara pribadi Barce Van Houten menganggap yang pantas masuk dapur rekaman ya Mayangsari. Di balik panggung, saya dan Swida meyakinkan kepada Barce bahwa Mayang memang layak masuk dapur rekaman.
Bagaimana tanggapan orangtua Mayang?
Beberapa hari kemudian, ibunya Mayang, Ibu Larasatun  mendatangi saya dan Swida dan minta agar kami membantu mengantarkan Mayang ke Barce Van Houten di Jakarta. Dua kali ibunya meminta agar saya membantu Mayang ke Jakarta. Akhirnya saya sanggupi permintaan Ibu Larasatun, yang saat itu masih bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas.   
     
Dengan membawa memo dari Swida, saya antarkan Mayang menemui Barce Van Houten di Jakarta. Teman saya, Swida memang sudah lama kenal Barce Van Houten. Barce sampai sekarang juga ingat betul bahwa dia mendapatkan Mayangsari dari pergelaran parade band dan lomba menyanyi lagu populer menuju dunia rekaman tahun 1987.
     
Setelah beberapa waktu di Jakarta, Mayang pulang, dan mengabarkan bahwa album perdananya akan keluar. Dalam peresmian sebuah dealer mobil di Purwokerto, saya ingat betul, sebelum menyanyi di hadapan hadirin, Mayang mohon doa restu untuk album perdananya yang akan segera beredar.
     
Betul juga, tak lama kemudian, album perdana Mayang  yang berjudul Galau beredar. Agaknya, album itu berkenan di hati  masyarakat, sehingga dikopi ribuan keping. Setelah itu, Mayang kembali ke Jakarta, untuk menekuni profesi sebagai artis  profesional. Dan saya tidak pernah bertemu lagi sampai sekarang.

     
Mamock Ngudi Utomo adalah penggiat film lokal Banyumas yang sudah punya nama. Sejak mendirikan Rumah Produksi Cakra Buana Plus tahun 2000, Mamock sudah melahirkan lebih dari 250 film, termasuk film pendek dan komedi. Sebagian besar filmnya adalah mengangkat budaya Banyumasan dan ditayangkan di Banyumas TV. Namun ada juga yang ditayangkan oleh StasiunCTV Banten dan JakTV.
Selain itu, Mamock juga memproduksi sejumlah iklan dan company profile untuk ditayangkan diMetro TV, SCTV, Bali TV, dan Jogja TV.  Agaknya, bapak berputra tiga dari hasil perkawinannya dengan Titi Erlina ini lebih menggemari bidang sinematografi daripada profesinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sehingga ia berani memilih pensiun dini dari pekerjaannya sebagai PNS di Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan  dan Kebudayaan, Kabupaten Banjarnegara.
     
"Saya pensiun dini sebagai PNS tahun 2003. Cukup 12 tahun saya bekerja sebagai PNS. Saya  lebih enjoy dan menemukan dunia baru dengan bekerja seperti ini," ujar Mamock yang di dalam film Mayang Sarni juga bertindak sebagai penulis naskah bersama Agus Maryono, seorang wartawan di Purwokerto.
     
Adapun "teman seperjuangan" Mamock, Swida Edi Purwanto, saat ini adalah produser eksekutif Rumah Produksi Cakra Buana Plus dan juga mengelola sebuah usaha dari kantornya di Bintaro, Tangerang. 
(bersambung)

film MAYANG SARNI

Kisah hidup Mayangsari difilmkan

June 30, 2008

Ternyata ada yang tertarik juga dengan kisah hidup Mayangsari untuk dimasukan dalam sebuah film berdurasi 60 menit.
Production House dari Buana Plus, Baturaden yang tertarik untuk memfilmkan kisah Mayangsari yang berjudul “Mayangsarni”.
Film “Mayangsarni” akan diputar di setiap kecamatan Banyumas dalam bentuk layar tancep. Lokasi syuting pun
juga dilakukan di kota Banyumas yang rencana juga akan tayang di TV lokal Banyumas.
Film “Mayangsarni” hanya menceritakan tentang perjuangan Mayangsari untuk menjadi terkenal menjadi artis, jadi tidak sampai
menceritakan kisah cintanya di Jakarta.
Mamock Ngudi Utomo, produser Buana Plus tidak khawatir apabila film garapannya bakal ada yang tersinggung, karena film hanya
menceritakan kisah Mayangsari di Banyumas dan pergi ke Jakarta.